Minggu, 25 November 2012

Manusia dan Keadilan - Ilmu Budaya Dasar 3

1.   Sebutkan macam-macam keadilan! Berikan contoh, masing-masing 2 contoh!
Jawab:
v Keadilan legal atau keadilan moral
Ø Dua orang anak muda yang sedang pergi menggunakan motor untuk datang ke sebuah Mall, pada saat persimpangan jalan ternyata sedang diadakan razia oleh pihak kepolisian lalu lintas. Mereka berdua sama-sama tidak membwa surat kelengkapan kendaraan dan tidak memili SIM. Meskipun salah satu dari mereka adalah anak seorang polisi namun mereka berdua tetap mendapatkan hukuman yang sama sesuai UU lalu lintas yang berlaku di Indonesia.

Ø Seorang lurah dan 2 orang staff kelurahan terbukti melakukan tindak korupsi melalui pungutan liar pada pembuatan surat-surat. Meskipun Lurah, ia tetap di hukum sama seperti halnya staff kelurahan tempat ia menjabat. Karena semua orang sama di mata hukum tidak membedakan status sosial dan jabatan.


v Keadilan distributive
Ø Dua orang kakak beradik yang sama-sama bersekolah di tingkat SMA, meraka adalah Shinta dan Santi. Shinta bersekolah di SMA Bunga yang terletak di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sedangkan Santi bersekolah di SMA Daun yang terletak di Kalisari, Jakarta Timur. Shinta diberikan uang saku 30.000 rupiah/hari sedangkan Sinta hanya diberikan uang saku 15.000 rupiah/ hari. Perbedaan tersebut karena jarak sekolah mereka dari rumah berbeda. Shinta lebih jauh jaraknya dari rumah ke sekolah, serta memerlukan biaya transportasi yang lebih mahal. Maka uang saku mereka pun dibedakan oleh orangtuanya.

Ø Dua orang pegawai Andi dan Anto bekerja di sebuah perusahaan yang sama. Tetapi Andi selalu saja pulang lebih lama dibandingkan Anto. Bukan karena beban pekerjaan mereka yang berbeda tetapi Andi lebih rajin untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum deadline yang di tentukan. Sedangkan Anto mengerjakan pekerjaannya lebih lama, dan seringkali telat dalam deadline. Sehingga gaji merekapun di bedakan oleh Direktur perusahaan mereka. Andi mendapatkan gaji dan bonus dari perusahaannya sedangkan Anto tidak mendapatkan bonus.

v Keadilan komutatif
Ø Seorang siswa membolos saat pelajaran Matematika, ia justru berada di kantin sekolahnya. Dan guru pelajran tersebut mengetahui hal itu, ia memanggil murid tersebut ke dalam kelas. Untuk mempertanggungjwabkan perbuatannya guru itu memberinya hukuman mengerjakan tugas latihan, tetapi hukuman itu tidak hanya diberikan kepada anak tersebut melainkan semua teman kelasnya. Menurut guru tersebut seharusnya teman-temannya dapat mengingatkannya. Sehingga tidak terjadi hal tersebut.

Ø Sebuah sekolah SMA di Jakarta, siswanya sering kali terlibat tawuran dengan sekolah lain. Meskipun hanya sedikit dari mereka yang ikut tawuran tetapi masyarakat memandang hal itu bahwa sekolah itu berkualitas buruk, siswanya pun juga tidak baik tingkah lakunya. Maka pemerintah memutuskan untuk menutup sekolah tersebut. Guna menghindari tawuran pelajar yang lebih besar lagi.

2.   Berikan contoh ketidak adilan di dalam keluarga yang anda lihat di lingkungan ? Berikan 2 contoh !
Jawab:
Ø Seorang anak perempuan yang diabaikan keberadaannya oleh ayahnya karena ayahnya ingin memiliki anak laki-laki. Karena keinginan ayahnya yang begitu besar untuk memiliki anak laki-laki maka ayahnya mendidik anak perempuannya seperti anak laki-laki. Ia hanya boleh main permainan laki-laki dan rambutnyanya pun harus selalu di potong pendek. Anak tersebut menolak, tapi ia tidak mampu. Sehingga lama kelamaan ia tumbuh menjadi pribadi seorang laki-laki. Semua itu karena ketidak adilan ayahnya dalam memperlakukan anaknya sebagai seorang laki-laki bukan perempuan.

Ø Menjadi wanita karir adalah impian hamper semua wanita modern. Semua pada dasarnya ingin sukses dalam karir maupun rumah tangga. Tapi pada kenyataannya semua terkadang tidak sejalan. Ibu rumah tangga yang seharusnya mengurus suami dan anaknya justru sibuk mengurus karirnya. Ia lupa untuk mengurus anaknya. Ia hanya memenuhi kebutuhan anaknya secara materil tidak dengan kasih sayang. Seharusnya para ibu rumah tangga yang sekaligus seorang wanita karir mampu mengatur waktu mereka untu pekerjaan dan keluarga. Adil dalam bekerja maupun mengurus anak dan suami.

3.   Sebutkan macam-macam tanggungjawab dan berikan contoh tanggungjawab anda sebagai mahasiswa dalam macam-macam tanggungjawab tersebut?
Jawab:
Ø Tanggungjawab terhadap diri sendiri
Saya sebagai mahasiswa psikologi saya bertanggungjawab atas diri saya dan kuliah saya. Karena saya yang memilih dan memutuskan untuk kuliah di Fakultas Psikologi maka saya harus konsiten untuk mengikuti semua kuliah yang ada di fakultas tersebut tanpa mengeluh dengan beban kuliah yang saya jalani, konsisten juga untuk menjaga prestasi saya tetap baik. Karena hal tersebut akan mempengaruhi masa depan dan karir saya nantinya.

Ø Tanggungjawab kepada Bangsa dan Negara
Sebagai mahasiswa saya juga wajib membayar pajak. Bukan hanya saya melainkan seluruh warga masyarakat Indonesia. Karena membayar pajak merupakan salah satu kewajiban kita yang juga di atur di dalam UU.

Ø Tanngungjawab terhadap Tuhan
Tanggungjawab kepada Tuhan dapat di buktikan dengan mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Melaksanakan sholat, puasa, bersedekah anak yatim dan orang miskin serta tidak mengerjakan apa yang di larang oleh agama dan terdapat di Al-Quran.

Ø Tanggungjawab terhadap Keluarga
Orangtua yang selama ini membiayai pendidikan kita, maka ketika kita mendapatkan amanah (uang) pergunakanlah sesuai amanahnya dan buatlah skala prioritas agar kita tidak boros. Karena orangtua yang telah membiayai kuliah kita maka kita harus bertanggungjawab kepada mereka dengan cara rajin belajar, tidak bolos kuliah, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak citra orang tua maupun Universitas.

Ø Tanggungjawab terhadap Masyarakat
Kita sebagai mahasiswa juga harus bertanggungjawab terhadap masyarakat. Kita harus oatuh dan mentaati peraturan yang ada di masyarakat. Contohnya bila kita mengadakan acara di rumah bersama teman-teman maka acara itu pun harus selesai sebelum jam 10 malam. Karena apabila lewat dari jam 10 maka kegiatan kita akan mengganggu tetangga sekitar kita. Karena akan membuat mereka merasa tidak nyaman untuk beristirahat.

4.   Sebutkan unsur-unsur dalam pandangan hidup ? Jelaskan !
Jawab:
Ø  Cita-cita, adalah sebuah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap manusia dalam hidupnya. Dengan segala cara dan usaha. setiap manusia berbeda-beda dalam hal cita-cita sehingga untuk merealisasikannya pun berbeda-beda caranya.
Ø Kebajikan, adalah sesuatu hal yang baik atau tindakan yang baik yang dilakukan dengan tujuan membantu sesama dan berguna bagi kehidupan di dunia.
Ø Usaha atau perjuangan, usaha adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan, sebuah usaha yang akan menentukan sebuah keberhasilan. Semakin keras seseorang itu berusaha maka hal yang ia inginkan akan semakin mudah di dapatkan.
Ø Keyakinan atau kepercayaan, sesuatu hal yang di percaya seseorang akan kebenerannya. Keyakinan hanya ada dalam hati setiap manusia. Dengan keyakinan lah manusia dapat berbuat sesuatu hal yang benar. Benar secara umum maupun benar secara agama. Karena pada dasarnya keyakinan manusia adalah Tuhan.

Kamis, 22 November 2012

PERAN PSIKOLOGI FORENSIK DALAM PROSES HUKUM DI INDONESIA (2)

Terapi dan Pencegahan Psikopat
Sebagai kelainan kepribadian yang belum bisa dipastikan penyebabnya, Psikopat belum bisa dipastikan bisa disembuhkan atau tidak. Hare sendiri mengamati bahwa perawatan terhadap Psikopat, bukan saja tidak menyembuhkan, melainkan justru menambah parah gejalanya, karena Psikopat ybs. bisa makin canggih dalam memanipulasi perilakunya yang merugikan orang lain, Walaupun demikian, Hare menegaskan bahwa kenyataan bahwa Psikopat belum bisa disembuhkan, tidak berarti bahwa Psikopat tidak perlu dirawat sama sekali. Keadaan ini justru harus memacu para pakar, karena merupakan tantangan yang harus dipecahkan. Beberapa hal, kata Hare akan membaik sendiri dengan bertambahnya usia, misalnya energi yang tidak sebesar waktu muda lagi. Proses ini seharusnya bisa dipercepat dengan prosedur tertentu (Ramsland, tanpa tahun).
Di sisi lain, Kirkman (2002) yang percaya bahwa kerpibadian Psikopat terbentuk karena salah asuh pada masa kecil, berpendapat bahwa Psikopat bisa dicegah jika indikasi kelainan kepribadian itu bisa dideteksi sedini mungkin dan diberi asuhan sedemikian rupa sehingga meminimalkan risiko individu dari kekurangan afeksi pada masa kecilnya yang akan menyebabkan berkembangnya perilaku yang merugikan dari seorang Psikopat.
Dampak dari ketidak tahuan ilmuwan tentang penyembuhan Psikopat, adalah timbulnya reaksi dalam masyarakat untuk melindungi diri dari serangan Psikopat melalui Undang-undang. Tetapi seperti halnya dalam hal perumusan ruang lingkup dan topik penelitian, Undang-undang anti Psikopat juga lebih dipengaruhi oleh pandangan awam, ketimbang penelitian ilmiah.
Di Belanda, misalnya, UU anti Psikopat diluncurkan dua kali, yaitu pada awal abad XX dan di tahun 2002. Tujuannya tidak berubah dalam kurun waktu yang sekitar 100 tahun itu, yaitu untuk mencegah “disturbed criminals” untuk mengganggu masyarakat, dengan cara menangkap mereka dan mendidik mereka di dalam penjara agar bisa berperilaku yang lebih sesuai dengan norma masyarakat. Tetapi akibatnya adalah polisi dengan gampang menangkap dan memenjarakan setiap pemabok di jalanan dengan dakwaan Psikopat (Oei, 2005). Demikian pula di AS. Hukum anti Psikopat di AS dimulai tahun 1930an dengan UU di negara-negara bagian Midwestern yang ditujukan kepada Sex offenders, berupa UU anti Psikopat seksual. Pada tahun 1990an dikeluarkan UU anti Sexually deviant behavior, yang arahnya adalah pencegahan Psikopat seksual, melalui program-program pencekalan. Namun masyarakat ingin tetap mempertahankan UU tahun 1930an tentang anti Sex offenders, karena sifatnya yang lebih coercive dan dirasakan bisa lebih melindungi masyarakat. Akhirnya terbitlah UU anti Sex offender itu (Sexually Violent Predator Acts (SVP). Ternyata jurisprudensi selama puluhan tahun tidak diperhatikan, yang berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan medis hampir-hampr tidak diperhatikan dalam pembuatan UU baru (Granlund, 2005; Quinn, Forsyth & Mullen-Quinn, 2004). Kecenderungan untuk lebih memperhatikan pendapat awam ketimbang pertimbangan pakar juga terbukti dalam sebuah survey yang dilakukan terhadap 172 mahasiswa Strata 1. Kepada mereka ditanyakan, seandainya mereka harus memberi hukuman terhadap tersangka SVP dengan predikat Psikopat atau yang non-Psikopat, yang manakah yang akan mereka beri hukuman yang lebih berat? Yang Psikopat atau non-Psikopat? Dan siapakah yang akan mereka jadikan acuan? Tuntutan jaksa atau kesaksian dokter ahli (clinician)? Jawab responden adalah hukuman lebih berat pada yang Psikopat, berdasarkan tuntutan jaksa, bukan kesaksian dokter ahli (Guy & Edens, 2003).
Lantas, apakah sesungguhnya peran Psikolog Forensik? Berikut akan dipaparkan beberapa tugas psikolog forensik yang dapat dilakukan sesuai dengan tahapan proses peradilan pidana, baik terhadap pelaku, saksi, di lembaga pengadilan, dan pemasyarakatan.
1. Pengenalan Metode Interogasi terhadap pelaku yang berbasis Psikologi.Interogasi oleh petugas kepolisian kepada pelaku yang bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Beberapa teknik lama yang sering kita dengar selama ini digunakan 'OKNUM' polisi diantaranya adalah dengan melakukan kekerasan fisik, teknik ini banyak mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan akibat tidak tahan akan kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan menggunakan teori psikologi dapat digunakan misalnya dengan teknik maksimalisasi dan minimalisasi (Kassin & McNall dalam Constanzo, 2006). Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi tentang teknik interogasi yang menggunakan prinsip psikologi ini. 
2. Criminal profiling mengenai pelaku dapat disusun dengan bantuan teori psikologi. Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak pelaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Misal pada kasus teroris dapat disusun criminal profile dari teroris, yang berguna dalam langkah penyidikan di kepolisian maupun masukan bagi hakim (misalnya apakah tepat teroris dihukum mati atau hanya seumur hidup).
3. Psikolog forensik juga dapat membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku. Pada Korban. Beberapa kasus dengan trauma yang berat menolak untuk menceritakan kejadian yang dialaminya. Psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan penggalian informasi terhadap korban, misal pada anak-anak atau wanita korban kekerasan dibutuhkan keterampilan agar korban merasa nyaman dan terbuka. Penggalian korban perkosaan pada anak yang masih sangat belia dapat digunakan alat bantu boneka (Probowati, 2005). 4. Psikolog forensik dapat melakukan otopsi psikologi baik terhadap pelaku maupun korban. Pada kasus di Malang ketika seorang ibu yang membunuh 4 anaknya dan ia bunuh diri. Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja. Tujuan otopsi psikologi adalah merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran, dan gaya hidup almarhum. Otopsi psikologi akan membantu polisi dalam menyimpulkan kemungkinan korban dibunuh atau bunuh diri.
Bagaimana peran psikolog forensik ddari sisi saksi?. Proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi terhadap saksi, karena baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90 % terhadap pernyataan saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. Diperlukan teknik investigasi saksi yang tepat a.l: teknik hipnosis dan wawancara kognitif. 
Teknik hipnosis digunakan ketika informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti atau pada Saksi/korban yang emosional (malu, marah) dan menghilangkan memorinya. Dengan teknik hipnosis, ia merasa bebas dan dapat memunculkan ingatannya kembali.
Wawancara kognitif merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher dan Edward Geiselman tahun 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara membuat saksi/korban merasa relaks, dan kooperatif. Geiselman menemukan bahwa teknik wawancara kognitif menghasilkan 25-35 % lebih banyak dan akurat dibanding teknik wawancara standar kepolisian. Psikolog forensik dapat melakukan pelatihan teknik investigasi saksi pada polisi.
Dan jangan lupa psikolog forensik juga dapat berperan di Pengadilan.Peran psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat sebagai saksi ahli, bagi korban (misal kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anak seperti perkosaan,dan penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (misal Mental retarded, pedophilia, dan psikopat). 
Psikolog forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan. Sebelum persidangan yang sesungguhnya, psikolog merancang kalimat, ekspresi dan gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak mendapat hukuman yang berat.
Peran psikolog forensik di Lembaga Pemasyarakatan tidak kalah pentingnya. Psikolog sangat dibutuhkan di Lapas. Banyak kasus psikologi yang terjadi pada narapidana maupun petugas lapas. Misal pada kasus percobaan bunuh diri narapidana tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki psikolog. Pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi psikologis sehingga mereka seringkali memberikan hukuman dengan tujuan dapat mengurangi perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi,  berbohong). Psikolog forensik dibutuhkan dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana. 
Guna dapat menjalankan peran sebagai psikolog forensik, seorang psikolog perlu menguasai pengetahuan psikologi dan hukum, serta memiliki ketrampilan sebagai psikolog forensik. Psikologi forensik sebenarnya merupakan perpaduan dari psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi kognitif. Psikolog forensik memiliki keahlian yang lebih spesifik dibanding psikolog umum. Misalnya di Lapas, dibutuhkan kemampuan terapi (psikologi klinis) yang khusus permasalahan kriminal. Di kepolisian dibutuhkan asesmen yang khusus pada individu pelaku kriminal. Dalam penggalian kesaksian dibutuhkan pemahaman psikologi kognitif. Pada penanganan pelaku/korban/saksi anak-anak dibutuhkan pemahaman psikologi perkembangan. Dalam menjelaskan relasi sosial antara hakim, pengacara, saksi, terdakwa dibutuhkan kemampuan psikologi sosial.
Ternyata peran psikolog forensik ini sangat luas sekali bukan? Coba kita tilik kembali perjalanan perkembangan sistem pemidanaan yang pernah berlaku di Indonesia. Mungkin sejarah ini dapat digunakan untuk memposisikan psikolog forensik secara lebih mapan.
Sistem Kepenjaraan (1945 – 1964)Sejak Indonesia merdeka, sebelum sistem pemasyarakatan muncul, terlebih dahulu diberlakukan sistem Kepenjaraan yang berasal dari Eropah yang dibawa Belanda ke Indonesia dan diterapkan dengan memberlakukan Gestichten Reglement (Reglement Penjara) stbl 1917 No. 708. Di dalam sistem Kepenjaraan, tujuan pemidanaan adalah penjeraan. Dengan demikian, tujuan diadakannya penjara sebagai tempat menampung para pelaku tindak pidana dimaksudkan untuk membuat jera dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Untuk itu, peraturan-peraturan kepenjaraan dibuat keras bahkan sering tidak manusiawi.
Sistem Pemasyarakatan (1964 – 1995)Di era ini telah diberlakukan 10 (sepuluh) prinsip pemasyarakatan dengan tujuan pemidanaan adalah pembinaan pembimbingan dengan tahapan orientasi, pembinaan dan assimilasi. Tahap orientasi dimaksudkan agar narapidana mengenal cara hidup, peraturan dan tujuan dari pembinaan atas dirinya. Tahap pembinaan narapidana, dibina, dan dibimbing agar supaya tidak melakukan lagi tindak pidana dikemudian hari, apabila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana diberikan pendidikan agama, keterampilan dan berbagai kegiatan pembinaan lainnya. Tahap assimilasi, dimaksudkan sebagai upaya penyesuaian diri agar narapidana tidak menjadi canggung bila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan apabila telah habis masa pidananya atau bila mendapat pelepasan bersyarat, cuti  menjelang lepas atau pembinaan karena mendapat remisi. 
Sistem Pemasyarakatan Baru (1995 – Sekarang)Walaupun sejak tahun 1964 Indonesia telah menganut sistem pemasyarakatan, namun belum mempunyai dasar hukum. Yang digunakan sebagai dasar hukum dengan beberapa perubahan sejak tahun 1917 adalah Reglemen Penjara, yaitu suatu undang-undang yang sudah tidak layak untuk digunakan karena masih bersumber dari Hukum  Kolonial. Tentu saja hal ini tidak bisa dipertahankan, maka pada tahun 1995 diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang merupakan  penyempurnaan dari sistem pemasyarakatan yang masih berbau kolonial. Dalam sistem Pemasyarakatan (baru), tujuannya adalah meningkat- kan kesadaran (counsciousness) narapidana akan eksistensinya sebagai manusia. Pencapaian kesadaran dilakukan melalui tahap introspeksi, motivasi dan self development. Tahap introspeksi dimaksudkan agar narapidana mengenal diri sendiri. Sedangkan tahap motivasi diberikan teknik memotivasi diri sendiri bahkan sesame teman lainnya. 
“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat  diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif  berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar  sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab” (Pasal 2  UU No. 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan).
Dari uraian di atas terlihat adanya pergeseran sistem pemidanaan dari sistem kepenjaraan ke sistem  pemasyarakatan, kemudian berkembang ke sistem pemasyarakatan (baru). Sebagai konsekuensi dari pergeseran-pergeseran termaksud sudah barang tentu proses pemasyarakatan juga disesuaikan dengan pola pembinaan berdasarkan tujuan pemasyarakatan yang dianut. 
Hakikat dan Prinsip-prinsip Dasar PembinaanSecara umum warga binaan  adalah manusia biasa. Ada spesifikasi tertentu yang menyebabkan seseorang menjadi penghuni Lapas, maka dalam pembinaan mereka harus menerapkan prinsip-prinsip dasar pembinaan. Prinsip-prinsip dasar tersebut terdiri dari empat  komponen Pembina (Harsono, 1995:51), yaitu: (1) Diri sendiri, narapidana itu sendiri; (2) Keluarga, adalah anggota keluarga inti atau keluarga dekat; (3) Masyarakat, adalah orang-orang yang berada disekeliling narapidana pada saat masih di luar lembaga Pemasyarakatan /Rutan dapat masyarakat biasa, pemuka masyarakat atau pejabat setempat; (4) Petugas dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, petugas keagamaan, petugas sosial, petugas Lapas, Rutan, Balai Bispa, Hakim, Wasmat, dsb. Keempat komponen “Pembina” tersebut harus memahami  secara benar apa yang menjadi tujuan dari pembinaan Pemasyarakatan.
Tujuan PembinaanDari ketiga sistem pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas, sebenarnya adalah sama-sama  mengharapkan agar terpidana tidak lagi mengulangi  perbuatannya selepas menjalani pemidanaan yang sekaligus untuk melindungi masyarakat dari perbuatan melanggar hukum yang mungkin diulangi lagi. Tujuan “sistem pemasyarakatan baru” yang berlaku saat ini adalah: meningkatkan kesadaran  (Consciousness) dengan tahap interospeksi, motivasi, dan self  development (pengembangan SDM) dengan orientasi  pembinaan Bottom Up Approach.

Nah, bagaimana dengan komentar anda ? Apakah ada teknik modifikasi perilaku lain untuk narapidana atau anda setuju dengan kekerasan sesuai dengan system penjara terdahulu? Atau anda setuju dengan system pemasyarakatan sekarang yang terkadang tidak membuat jera?

http://forum.psikologi.ugm.ac.id/psikologi-sosial/peran-psikologi-forensik-dalam-proses-hukum-di-indonesia-(1)/

x

PERAN PSIKOLOGI FORENSIK DALAM PROSES HUKUM DI INDONESIA (1)

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa/psikis manusia, sehingga dalam setiap kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali dalam permasalahan hukum. Di Indonesia, psikologi kemudian membagi bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan, psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi. Pada kenyataannya di Amerika, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya
adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik. Apa itu psikologi forensik ?

The committee on ethical Guidelines for forensic psychology (Putwain & Sammons, 2002) mendefinisikan psikologi hukum sebagai semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum. Bartol & Bartol (dalam Wrightsman, 2001) menyatakan psikologi hukum dapat dibedakan menjadi :
a. Kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek perilaku manusia dalam proseshukum (seperti ingatan saksi, pengambilan keputusan juri/hakim, perilaku criminal)
b. Profesi psikologi yang memberikan bantuan berkaitan dengan hukum. Profesi ini di Amerika sudah sedemikian berkembangnya, seperti Theodore Blau, ia merupakan ahli psikologi klinis yang merupakan konsultan Kepolisian. Spealisasinya adalah menentukan penyebab kematian seseorang karena dibunuh atau bunuh diri. Ericka B. Gray, ia seorang psikolog yang bertugas melakukan mediasi terutama pada perkara perdata. Sebelum perkara masuk ke pengadilan, hakim biasanya menyuruh orang yang berperkara ke Gray untuk dapat memediasi perkara mereka. John Stap adalah seorang psikolog social, ia bekerja pada pengacara. Tugasnya adalah sebagai konsultan peradilan, ia akan merancang hal-hal yang akan dilakukan pengacara maupun kliennya agar dapat memenangkan perkara. Richard Frederic, adalah seorang ahli rehabilitasi narapidana. 

Dengan mengamati rofesi-profesi tersebut, kita dapat membayangkan betapa psikolog berperan penting dalam sistem hukum di Amerika. Begitu luasnya bidang kajian psikologi hukum maka Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995) membagi bidang tersebut menjadi tiga bidang, psychology in law, psychology and law, psychology of law. 

Psychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hokum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat. 

Hampir setiap hari koran maupun telivisi memberitakan kasus-kasus kriminalitas yang menimpa masyarakat. Bentuknya beragam. Ada  perampokan, pemerasan, perampasan, penjambretan, pembunuhan, perkosaan, pencopetan, penganiayaan,  dan kata lain yang mengandung unsur pemaksaan, atau kekerasan terhadap fisik ataupun harta benda korban. 
    Berikut ini salah satu contoh berita yang dikutip dari salah satu media di Surabaya. 

“Tembak  Mati Polisi, Gasak Rp. 1,9 Miliar Perampokan di Bank Mandiri Capem Jl. Bukit Kota, Kota Pinang, Labuhan Batu. Bandit-bandit jalanan itu menembak dua polisi dan satu diantaranya kabur dengan membawa uang hasil rampokan. Polisi sulit mengetahui identitas pada perampok. Sebab mereka menutupi wajahnya dengan kain sebo ketika menjalankan aksinya. Aksi perampokan yang terjadi pukul 10.000 WIB pagi  itu diawali dengan kedatangan sebuah Daihatsu Troper berplat BM. Begitu berhenti di parkiran, beberapa penumpang mobil itu berhamburan turun. Mereka langsung memberondongkan tembakan ke udara. “Empat orang menenteng senpi laras panjang dan dua senpi genggam,”ujar saksi mata di tempat kejadian. Setelah  merobohkan Bripda Lauri, enam perampok masuk ke bank. Mereka menodong kasir lalu memaksanya untuk mengumpulkan uang yang ada di bank. Kasir yang ketakutan buru-buru mengambil semua uang seperti yang diminta perampok (JP, 26 Oktober 2004).    Kengerian, ketakutan, keheranan, kebencian dan bahkan trauma psikologis barangkali yang menjadi kata-kata yang terungkap setelah melihat atau mengalami peristiwa tersebut.  

Banyak sudut pandang yang digunakan untuk memberikan penjelasan fenomena tindakan kriminal yang ada. Pada kesempatan ini saya mencoba dari sisi psikologis pelakunya.  Sudut pandang ini tidak dimaksudkan untuk memaklumi tindakan kriminalnya, melainkan semata-mata hanya sebagai penjelasan.  

Coba kita cermati Ragam Pendekatan Teori Psikologis Perilaku Kriminalitas yang sebetulnya berawal dari penjelasan yang diberikan oleh folosof, ahli genetika, dokter, ahli fisika, dan sebagainya. Bermula dari berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan, dan beberapa kajian sebelumnya yang terkait dengan perilaku kriminal, maka pada tulisan ini disampaikan beberapa padangan tentang perilaku kriminal

A. Pendekatan Tipologi Fisik / Kepribadian yang memandang bahwa sifat dan karakteristik fisik manusia berhubungan dengan perilaku kriminal. Tokoh yang terkenal dengan konsep ini adalah Kretchmerh dan Sheldon: Kretchmer dengan constitutional personality, melihat hubungan antara tipe tubuh dengan kecenderungan perilaku. Menurutnya ada tiga tipe jarigan embrionik dalam tubuh, yaitu endoderm  berupada sistem digestif (pencernaan), Ectoderm: sistem kulit dan syaraf, dan Mesoderm yang terdiri dari tulang dan otot. Menurutnya orang yang normal itu memiliki perkembangan yang seimbang, sehingga kepribadiannya menjadi normal. Apabila perkembangannya imbalance, maka akan mengalami problem kepribadian.  William Shldon (1949) , dengan teori Tipologi Somatiknya, ia bentuk tubuh ke dalam tiga tipe. a)     Endomorf:  Gemuk (Obese), lembut (soft), and rounded people, menyenangkan dan sociabal. b)     Mesomorf : berotot (muscular), atletis (athletic people), asertif,  vigorous, and bold.c)      Ektomorf : tinggi (Tall), kurus (thin), and otk berkembang dengan baik (well developed brain),   Introverted, sensitive, and nervous Menurut Sheldon, tipe mesomorf merupakan tipe yang paling banyak melakukan tindakan kriminal.  Berdasarkan dari dua kajian di atas, banyak kajian tentang perilaku kriminal saat ini yang didasarkan pada hubungan antara bentuk fisik dengan tindakan kriminal. Salah satu simpulannya misalnya, karakteristik fisik pencuri itu memiliki kepala pendek (short heads), rambut merah (blond hair), dan rahang tidak menonjol keluar (nonprotruding jaws), sedangkan karakteristik perampok misalnya ia memiliki rambut yang panjang bergelombang, telinga pendek, dan wajah lebar.  Apakah pendekatan ini diterima secara ilmiah? Barangkali metode ini yang paling mudah dilakukan oleh para ahli kriminologi kala itu, yaitu  dengan mengukur ukuran fisik para pelaku kejahatan yang sudah ditahan/dihukum, orang lalu melakukan pengukuran dan hasil pengukuran itu disimpulkan.  

B. Pendekatan Pensifatan / Trait Teori tentang kepribadian yang menyatakan bahwa sifat atau karakteristik kepribadain kepribadian tertentu berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Beberapa ide tentang konsep ini dapat dicermati dari hasil-hasil pengukuran tes kepribadian.  Dari beberapa penelitian tentang kepribadian baik yang melakukan teknik kuesioner ataupun teknik proyektif dapatlah disimpulkan kecenderungan kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku kriminal. Dimisalkan orang yang cenderung melakukan tindakan kriminal adalah rendah kemampuan kontrol dirinya, orang yang cenerung pemberani, dominansi sangat kuat, power yang lebih, ekstravert, cenderung asertif, macho, dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang sangat tinggi, dan sebagainya. Sifat-sifat di atas telah diteliti dalam kajian terhadap para tahanan oleh beragam ahli. Hanya saja, tampaknya masih perlu kajian yang lebih komprehensif tidak hanya satu aspek sifat kepribadian yang diteliti, melainkan seluruh sifat itu bisa diprofilkan secara bersama-sama.   

C. Pendekatan Psikoanalisis dengan tokoh sentral Sigmund Freud yang melihat bahwa perilaku kriminal merupakan representasi dari “Id” yang tidak terkendalikan oleh ego dan super ego. Id ini merupakan impuls yang memiliki prinsip kenikmatan (Pleasure Principle). Ketika prinsip itu dikembangkannya Super-ego terlalu lemah untuk mengontrol impuls yang hedonistik ini. Walhasil, perilaku untuk sekehendak hati asalkan menyenangkan muncul dalam diri seseorang.  Mengapa super-ego lemah? Hal itu disebabkan oleh resolusi yang tidak baik dalam menghadapi konflik Oedipus, artinya anak seharusnya melakukan belajar dan beridentifikasi dengan bapaknya, tapi malah dengan ibunya.  Penjelasan lainnya dari pendekatan psikoanalis yaitu bahwa tindakan kriminal disebabkan karena rasa cemburu pada bapak yang tidak terselesaikan, sehingga individu senang melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan hukuman dari bapaknya.  Psikoanalist lain (Bowlby:1953) menyatakan bahwa aktivitas kriminal merupakan pengganti dari rasa cinta dan afeksi. Umumnya kriminalitas dilakukan pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak. 

D. Pendekatan Teori Belajar Sosial yang dimotori oleh Albert Bandura (1986). Bandura menyatakan bahwa peran model dalam melakukan penyimpangan yang berada di rumah, media, dan subcultur tertentu (gang) merupakan contoh baik tuntuk terbentuknya perilaku kriminal orang lain.  Observasi dan kemudian imitasi dan identifikasi merupakan cara yang biasa dilakukan hingga terbentuknya perilaku menyimpang tersebut. Ada dua cara observasi yang dilakukan terhadap model yaitu secara langsung dan secara tidak langsung (melalui vicarious reinforcement)Tampaknya metode ini yang paling berbahaya dalam menimbulkan tindak kriminal. Sebab sebagian besar perilaku manusia dipelajari melalui observasi terhadap model mengenai perilaku tertentu.  

E. Pendekatan Teori Kognitif yang selalu menuntut kita untuk menanyakan apakah pelaku kriminal memiliki pikiran yang berbeda dengan orang “normal”? Yochelson & Samenow (1976, 1984) telah mencoba meneliti gaya kognitif (cognitive styles) pelaku kriminal dan mencari pola atau penyimpangan bagaimana memproses informasi. Para peneliti ini yakin bahwa pola berpikir lebih pentinfg daripada sekedar faktor biologis dan lingkungan dalam menentukan seseorang untuk menjadi kriminal atau bukan.  

Dengan mengambil sampel pelaku kriminal seperti ahli manipulasi (master manipulators), liar yang kompulsif, dan orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya mendapatkan hasil simpulan bahwa pola pikir pelaku kriminal itu memiliki logika yang sifatnya internal dan konsisten, hanya saja logikanya salah dan tidak bertanggung jawab. Ketidaksesuaian pola ini sangat beda antara pandangan mengenai realitas. 

Lantas, apakah sebetulnya faktor penyebab perilaku kriminal? Banyak ahli yang telah memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa orang melakukan tindakan kriminal.  Berikut ini kami kutipkan dari beberapa pendapat ahli sebelum orang psikologi membuat penjelasan teoritis seputar  hal ini. Kemiskinan merupakan penyebab dari revolusi dan kriminalitas (Aristoteles). Kesempatan untuk menjadi pencuri (Sir Francis Bacon, 1600-an). Kehendak bebas, keputusan yang hedonistik, dan kegagalan dalam melakukan kontrak sosial (Voltaire & Rousseau, 1700-an) . Atavistic trait atau  Sifat-sifat antisosial bawaan sebagai penyebab perilaku kriminal (Cesare  Lombroso, 1835-1909). Hukuman yang diberikan pada pelaku tidak proporsional (Teoritisi Klasik Lain). 

Kiranya tidak ada satupun faktor tunggal yang menjadi penyebab dan penjelas semua bentuk kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya mencoba mengangkat dua teori yang mencoba menjelaskan mengapa seseorang berperilaku. Teori pertama yaitu dari Deutsch & Krauss, 1965) tentang level of aspiration. Teori ini menyatakan bahwa keinginan seseorang melakukan tindakan ditentukan oleh tingkat kesulitan dalam mencapai tujuan dan probabilitas subyektif pelaku apabila  sukses dikurangi probabilitas subjektif kalau gagal.  Teori ini dapat dirumuskan dalam persama seperti berikut:

V = (Vsu X SPsu) – (Vf X SPf) 

Dimana: 
V = valensi = tingkat aspirasi seseorang 
su= succed = suksesf = failure = gagal
SP= subjective probability 

Teori di atas, tampaknya cocok untuk menjelaskan perilaku kriminal yang telak direncanakan. Karena dalam rumus di atas peran subyektifitas penilaian sudah dipikirkan lebih dalam akankah seseorang melakukan tindakan kriminal atau tidak.   Sedangkan perilaku yang tidak terencana dapat dijelaskan dengan persamaan yang diusulkan oleh kelompok gestalt tentang Life Space yang dirumuskan B=f(PE). Perilaku merupakan fungsi dari life-spacenya. Life space ini merupakan interaksi antara seseorang dengan lingkungannya.

Mengapa model perilaku Gestalt digunakan untuk menjelaskan perilaku kriminal yang tidak berencana?  Pertama, pandangan Gestalt sangat mengandalkan aspek kekinian. Kedua, interaski antara seseorang dengan lingkungan bisa berlangsung sesaat. Ketiga, interaksi tidak bisa dilacak secara partial.     

Dengan demikian bagaimana cara penanganan perilaku kriminal? Banyak pendapat menyatakan bahwa kriminalitas tidak bisa dihilangkan dari muka bumi ini. Yang bisa hanya dikurangi melalui tindakan-tindakan pencegahan.
a) Hukuman selama ini hukuman (punishment) menjadi sarana utama untuk membuat jera pelaku kriminal. Dan pendekatan behavioristik ini tampaknya masih cocok untuk dijalankan dalam mengatasi masalah kriminal. Hanya saja, perlu kondisi tertentu, misalnya konsisten, fairness, terbuka, dan tepat waktunya.
b) Penghilang Model melalui tayanganMedia masa itu ibarat dua sisi mata pisau . Ditayangkan nanti penjahat tambah ahli, tidak ditayangkan masyarakat tidak bersiap-siap.
c) Membatasi Kesempatan Seseorang bisa mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan membatasi munculnya kesempatan untuk mencuri. Kalau pencuri akan lewat pintu masuk dan kita sudah menguncinya, tentunya cara itu termasuk mengurangi kesempatan untuk mencuri.
d) Jaga diri. Jaga diri dengan ketrampilan beladiri dan beberapa persiapan lain sebelum terjadinya tindak kriminal bisa dilakukan oleh warga masyarakat.  


http://forum.psikologi.ugm.ac.id/psikologi-sosial/peran-psikologi-forensik-dalam-proses-hukum-di-indonesia-(1)/