Senin, 15 Oktober 2012

Ilmu Budaya Dasar


Tika Oktaviani / 17512386
1PA01
Ilmu Budaya Dasar

1.      Selidiki kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di lingkungan anda, berikan pendapat tentang nilai-nilai yang berlaku pada lingkungan tersebut!
Contoh kasus:
Seorang anak yang kedua orangtuanya adalah seorang pekerja. Seringkali membebaskan anaknya untuk menggunkan teknologi sejak usia anak-anak. Mereka hanya beranggapan agar anaknya tidak ketinggalan zaman atau gaptek (gagap teknologi). Didukung dengan materi yang memang memadai. Tetapai, orangtua lupa apa bahaya anak yang cenderung atau dapat dikatakan kecanduan teknologi. Apa yang di pelajari sang anak sangat berpengaruh terhadap perkembangannya.
Nilai-nilai:
Positif:
1.      Anak lebih mengenal teknologi, dan mudah dalam pengembangan diri di masa globalisasi.
2.      Anak mampu mengeksplor hobi dan kegemaran mereka dalam teknologi yang lebih efisien tempat dan waktu.
Negatif:
1.      Anak akan cenderung menjadi pribadi yang tertutup
2.      Anak kurang bisa berkonsentrasi dalam belajar karena pengaruh teknologi yang sanagt tinggi
3.      Anak akan menjadi pribadi yang acuh terhadap keadaan sekitar, sulit mengontrol emosi dan sulit untuk bersosialisasi dengan teman dan lingkungan

1.      Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan kebudayaan  dan berikan contoh!
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan budaya:
1.      Adanya kebudayaan luar yang lebih mudah untuk di pelajari
2.      Sesuai dengan perubahan zaman
3.      Tokoh masyarakat meluputi tokoh elit politik sampai dengan kalangan selebriti yang menggunakan atau mengaplikasikan dalam dunia nyata
4.      Perubahan gaya hidup yang berpandangan pada dunia barat
5.      Banyaknya iklan atau tayangan televise yang mengadopsi budaya luar
Contoh:
Tayangan televisi yang banyak menampilkan kebudayaan k-pop yang sedang menjadi trend di hampir seluruh dunia. Akibat kemajuan teknologi yang canggih sehingga mudah di akses setiap orang dan mudah mempelajarinya sendiri. Meskipun kebanyakan orang tidak mempelajari budaya itu secara utuh. Tayangan televisi sangat mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku seseorang. Ditambah lagi budaya asing cenderung di aplikasikan oleh kalangan elit sehingga masyarakat kalangan menengah dan menengah kebawah ikut serta dalam penggunkan budaya asing tersebut untuk memberikan efek percaya diri dan tidak ketinggalan zaman. Itulah yang menyebabkan perubahan budaya di Indonesia begitu cepat. Dan budaya Indonesia sendiri semakin terkikis.
3.      IBD (Ilmu Budaya Dasar) sering di hubungkan dengan kesusastraan dalam prosa dan puisi.  Berikan contoh-contoh dan nilai-nilai yang di peroleh pembaca lewat sastra baik prosa dan puisi.
Nilai dalam cerpen Lukisan yang Bergetar
1.      Penyesalan selalu hadir ketika seseorang telah merasakan sakit
2.      Kebencian seorang anak akan ibunya yang telah meninggalkannya sejak kecil
3.      Seorang anak yang rela mencari ibunya meski telah di buang
4.      Mencintai sepenuh hati orangtuanya apapaun keadaannya
5.      Kepedulian seseorang untuk menolong sesamanya
Nilai dalam cerpen Anak-anak Peluru
1.      Kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah putus, meski telah lama di tinggalkan
2.      Seorang anak yang telah lupa akan orangtuanya setelah merantau
3.      Kesetiaan seorang anak merawat ibunya meskipun sudah tua
4.      Seorang lelaki yang rela mencintai seorang wanita dengan segala kekurangan
5.      Anak yang telah sukses jangan pernah melupakan orangtuanya
Nilai dalam puisi Doa
1.      Hamba yang senantiasa bertakwa
2.      Selalu berdoa dan bersyukur dalam keadaan apapun
3.      Mempercayai bahwa kehendak Tuhan adalah yang terbaik
4.      Kepasrahan diri kepada Tuhan
5.      Tidak pernah putus asa dalam menghadapi setiap cobaan
Nilai dalam puisi Luka
1.      Belajar untuk memahami orang lain
2.      Menjadi orang yang empati terhadap lingkungan maupun orang lain
3.      Belajar untuk menjadi seorang sahabat yang baik
4.      Mengajarkan tentang toleransi dan kepedulian





Anak-anak Peluru
Anakku,
Mengharapkan kepulanganmu sama saja dengan mengharap abu dari tungku-tungku pembakaran yang tak pernah menyala! Tapi, entah kenapa masih saja ibu bersetia menyia-nyiakan waktu menunggumu. Masih saja sesak dada ibu karena denyut rindu. Masih saja jemari tangan ibu hendak menulis surat untukmu, meski kau tak pernah lagi membalasnya. Ya, masih saja terkenang tentang sekeping waktu saat bayi laki-laki menyembul dari rahim ibu. Terkenang pula saat ngeyak dan rengekmu memecah sunyi di ujung malam. Saat itu, ibu tersentak bangun dan bergegas mengelus-elus kepala culunmu, hingga kau terlelap pulas dalam dekapan ibu.
”Ibu restui kepergianmu, Nak! Tapi, jangan sampai perantauanmu seperti Anak Peluru!”
”Anak Peluru? Maksud ibu?”
”Peluru jika sudah ditembakkan, tak akan kembali ke moncong senapan, bukan?”
”Ibaratkan peluru itu seorang anak, dan moncong senapan itu seorang ibu. Mana ada peluru yang kembali ke moncong senapan setelah ditembakkan? Hengkang dan tak pernah kembali pulang.”
Tiga orang anak yang terpacak dari perut ibu, dan pada setiap prosesi kelahiran itu nyaris sebesar biji Jagung peluh mengucur dari sekujur tubuh ibu karena menanggung rasa sakit, namun hasrat ibu ingin menimang bayi perempuan tak kunjung terwujud. Tiga bayi itu semuanya laki-laki. Abangmu, Rehan, setelah tamat SMU di Payakumbuh, merengek-rengek minta izin untuk merantau. Hendak mengadu nasib ke Jakarta. Ibu gadaikan sebidang sawah untuk modalnya berjualan kaki lima. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, lambat laun ia sukses. Khabar terakhir yang ibu dengar tentang Rehan, ia sudah punya lima toko dan dua puluh orang karyawan. Tapi, sejak menikah dengan perempuan rantau, berkembang biak dan lalu beranak pinak seperti kucing, tak pernah lagi Rehan pulang menjenguk ibu. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang?
Lain lagi ceritanya dengan Acin, abangmu yang satu lagi. Setelah lulus jadi polisi, hanya dua tahun sejak berdinas di Aceh, ia berkirim surat minta restu untuk mempersunting gadis kelahiran Takengon. Pada surat itu, Acin berjanji, setelah masa tugasnya berakhir, ia akan mengajukan permohonan agar bisa ditempatkan di Payakumbuh. Acin akan pulang membawa istrinya, dan tinggal bersama ibu. ”Kasihan, ibu sendiri saja di rumah!” katanya. Tapi, seingat ibu itulah surat pertama dan sekaligus surat terakhir Acin untuk ibu. Sejak itu, tak terdengar lagi khabar Acin. Acin tak pernah pulang menjenguk ibu. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang?
”Jangan cemas, Bu! Ruz tidak akan menjadi Anak Peluru.”
Rumah kita makin lengang. Hanya kau yang tersisa, Nak! Bapakmu tak bisa diharapkan. Sejak enam tahun lalu, nyaris setiap malam ia bersetia merawat nenek yang sakit-sakitan, sekaligus menjaganya. Delapan orang anak nenek. Dua perempuan dan selebihnya laki-laki, termasuk bapakmu. Kecuali bapakmu, tak satu pun anak-anak nenek yang menyimpan kerinduan pulang menjenguknya, apalagi kerinduan ingin merawatnya. Umurnya sudah berkepala delapan. Bapakmu rela di-perempuan-kan. Mencuci pakaian, menimba air mandi, menyuapkan makan, melayani segala tetek bengek kebutuhan perempuan setua nenek. Jika kau sudah pergi, tentu ibu akan bersendiri. Tanpa bapakmu. Tanpa Rehan, Acin dan juga kau. ”Ruz ingin jadi anak ibu, bukan Anak Peluru!”
Perempuan itu, Wafa Sulastri. Pelukis yang sedang bergiat di sanggar seni I Nyoman Gunarsa. Lukisan-lukisan karyanya sering dipamerkan di beberapa kota di Pulau Jawa. Selain bergiat sebagai pelukis, ia bekerja sebagai mediator antara buyer-buyer asing yang tertarik untuk membeli produk-produk handycraft khas Jogja dengan para pengrajin sebagai produsen. Saat itu, Wafa sedang bekerja untuk Mrs Palloma, bule perempuan berkebangsaan Spanyol.
Wafa tidak hanya cantik, tapi juga cerdas seperti terlihat dari cara dan gaya bicaranya. Tampak seperti perempuan yang kenyang pengalaman. Bukan perempuan kebanyakan. Pertemanan mereka berlanjut, makin dekat. Makin akrab. Pada sebuah janji makan malam yang mengesankan, Ruz tergoda pada ajakan Wafa untuk menginap di apartemen tempat tinggalnya. Wafa tinggal di apartemen mewah yang tidak jauh dari pusat kota bersama bos bulenya, Palloma. Semula Ruz memang berhasrat hendak menikmati kencan pertamanya itu bersama Wafa. Namun, hasrat lelaki itu padam seketika. Ia gemetar dan setengah menggigil. Saat Wafa melucuti dasternya, Ruz melihat bekas jahitan panjang membelah bagian perutnya. Lebih kurang enam puluh jahitan. Juga bekas cetakan setrika panas di punggungnya, bekas cambukan di pinggangnya, bekas tusukan benda-benda tajam di paha dan kedua betisnya.
”Siapa pelaku penganiayaan ini?”
”Siapa? Katakan!”
Wafa diam. Perlahan-lahan, gerimis merintik dari bola mata coklatnya. Terisak-isak. Tersedu-sedu.
”Aku akan menjadi pendengar yang baik, jika kau mau berbagi.”
”Kau mempercayaiku, bukan? Ceritakanlah!”
”Panjang ceritanya, Mas!”
Wafa adalah korban kesadisan seorang lelaki yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Indra Setiawan, begitu ia menyebut namanya. Setahun lalu, mereka tinggal di Denpasar, Bali, dan mengelola beberapa bidang usaha. Entah kenapa, Indra menjadi paranoid, setengah gila dan nyaris mengakhiri hidup Wafa. Tentang Indra, Wafa tidak mau bercerita panjang. ”Belum saatnya!” kata Wafa. Yang jelas, Wafa meninggalkan Bali dan melarikan diri ke kota ini, karena sudah tak tahan lagi menanggung perlakuan kasar suaminya.
”Sejak kapan mulai merokok?”
”Sejak telapak tanganku sering disulut api rokok!” jawab Wafa.
”Mulai minum?”
”Sejak aku sering teler karena setiap hari pangkal telingaku dihantam pukulan keras.”
Begitulah! Wafa sedang rapuh, goyah, dan kadang-kadang sulit dikendalikan. Beberapa kali Ruz menyelamatkan nyawanya dari tindakan konyol melakukan uji coba bunuh diri. Menenggak sebotol sprite dingin yang sebelumnya sudah dicampur bubuk racun tikus. Mengiris-iris urat nadi, bahkan dengan sengaja menabrakkan mobil yang sedang disetirnya. Wafa ingin menyudahi riwayat lukanya dengan cara; Mati. Ruz pernah membawanya ke psikiater. Setelah mempelajari gejala ganjil pada kondisi kejiwaan Wafa, psikiater itu geleng-geleng kepala sembari berbisik kepada Ruz, ”Istri Anda?” Ruz terperangah sambil menelan ludah.
Sejak kedekatannya dengan Wafa, konsentrasi kerja Ruz agak terganggu. Buyar, karena sewaktu-waktu ia mesti bergegas ke rumah sakit setelah mendengar khabar Wafa melakukan uji coba bunuh diri lagi. Tak terhitung lagi berapa kali Wafa diusung ke ruang gawat darurat akibat ulah konyolnya yang selalu ingin mati.
”Kenapa Tuhan enggan merenggut hidupku?”
”Hus… Jangan mengumpati Tuhan! Barangkali kau sedang diuji!”
”Aku sudah tak sanggup menghadapi ujian-Nya!”
”Aku ingin bebas dari ujian-Nya!”
”Dengan cara; Mati?”
”Berarti aku sudah tidak berarti lagi?”
”Kau akan berarti jika mau memberitahuku bagaimana cara mati yang paling cepat!”
Ruz berupaya menyembuhkan sakit Wafa dengan caranya sendiri. Memberikan perhatian penuh. Membujuk agar ia menghentikan kegemarannya mencelakai diri. Ruz tidak perlu mencintai Wafa waktu itu. Barangkali yang ia perlukan hanyalah bagaimana cara agar Wafa bisa sembuh dan situasi mentalnya pulih seperti sediakala. Tapi, demi kesembuhannya, Ruz akan melakukan apa saja. Tanpa sepengatahuan Wafa, diam-diam Ruz menghubungi suami Wafa via email. Meminta dan bermohon agar lelaki itu berkenan melepaskan istrinya. Dasar lelaki bajingan, (tanpa tersinggung sedikit pun) dengan senang hati ia menyerahkan istrinya pada Ruz, bahkan bersedia pula menulis surat pernyataan tidak akan menuntut jika Ruz telah menikahi Wafa, mantan istrinya itu.
”Kualat kau!” batin Ruz.
Bersusah payah Ruz memohon restu untuk menikahi Wafa. Berkali-kali ia menyurati ibu, juga menyurati sanak famili yang dipercayainya dapat melunakkan sikap keras ibu, namun Ruz gagal. Alih-alih memperoleh restu, justru yang diterimanya caci maki, umpat dan sumpah serapah.
”Ibu tidak melarang kau menikah, tapi tidak dengan perempuan rantau itu!”
”Jangan kuatir, Bu! Ruz tidak akan menjadi Anak Peluru.”
”Mungkin kau tidak akan menjadi Anak Peluru. Tapi, menikah dengan perempuan itu, kau akan jadi Anak Durhaka!’
”Ruz tidak akan melupakan ibu. Kelak, Wafa akan Ruz ajak pulang. Kami akan tinggal di kampung, menjaga dan merawat ibu. Ruz ingin jadi anak ibu!”
”Tidak, Nak! Kau bukan anak ibu lagi, jika tetap menikahi perempuan itu!”
Ruz mengurut dada membaca cercaan dan makian yang tertulis di setiap lembar surat ibu. Ia heran, tak disangka-sangka ibu yang sejak ia balita dikenalnya sebagai perempuan santun, bijak dan amat penyayang, tiba-tiba saja berubah menjadi sangat kasar, tidak penyabar, dan sulit diberi pengertian. Ibu tidak menjelaskan alasan penolakannya pada Wafa. Mencak-mencak, marah-marah, memaki dan mencela tanpa sebab musabab yang jelas. Sentimen hanya karena Wafa perempuan rantau. Ya, Wafa memang perempuan rantau, tapi apa bedanya perempuan rantau dengan perempuan-perempuan lain di ranah ibu? Bukankah Wafa juga seorang perempuan? Dan tentulah juga seorang manusia?
Hari ini entah bilangan tahun yang ke berapa sejak Ruz menikahi Wafa tanpa sepengetahuan ibu. Sejak itu pula, Ruz tak pernah pulang ke ranah ibu. Sama seperti tak pulangnya Rehan dan Acin. Tiga laki-laki itu seperti anak-anak peluru, sekali ditembakkan dari moncong senapan, tak pernah kembali pulang. Sekadar menanyakan keadaaan ibu yang kian lama kian ringkih dan sering sakit-sakitan pun tidak juga. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang? Entahlah!
Anak-anakku; Rehan, Acin dan Ruz…!
Menunggu kepulangan kalian sama saja dengan menunggu sekawanan Kelinci di kandang Macan! Namun, di usia yang sudah berkepala tujuh ini, (entah kenapa) masih saja ibu bersetia menyia-nyiakan waktu menunggu kalian. Masih saja sesak dada ibu karena denyut rindu ingin bertemu kalian. Masih saja jemari tangan ibu hendak menulis surat untuk kalian, meski kalian tak pernah lagi membalasnya. Ya, masih saja terkenang tentang tiga bayi laki-laki yang menyembul dari rahim ibu.
”Sampai kapan ibu harus menunggu kalian?”
”Sampai ibu menemukan alasan untuk tak menunggu kami lagi!”
”Apa alasan paling tepat untuk melupakan kalian, Nak?”
”Kematian! Hanya kematian kami yang mampu memadamkan api rindu ibu!”
Benarkah ibu sungguh-sungguh sedang menunggu? Jangan-jangan ibu tak sedang menunggu kepulangan kalian, tapi menunggu khabar kematian kalian! Bilamana kalian sudah jadi mayat, mungkin saat itu ibu akan berhenti menunggu. Kalau pun ibu masih juga menunggu, itu hanya sekedar membunuh waktu sambil menunggu ajal datang menjemput ibu.
”Bukankah ibu hanyalah moncong senapan dan kalian adalah anak-anak peluru yang telah dimuntahkan?”




Lukisan Bergetar

Jangan bertanya padaku si anak durhaka mengenai Ibu, perempun yang disapa dengan sepenuh keagungan jiwa, pemujaan, permohonan doa dan restu. Aku tak mau mengenal Ibu. Aku telah dititipkan Ibu pada saudara sepupunya, perempuan bawel yang mempekerjakanku serupa budak. Aku lari dari keluarga perempuan bawel itu, dan menemukan duniaku sendiri, bekerja, hingga membeli rumah tua yang kini kutempati.
Aku terperanjat ketika datang ke rumahku seorang gadis dengan pandangan yang berkaca-kaca. Ia mencari ibu kandungnya. Perempuan dalam lukisan di ruang tamuku, dikatakan sebagai sosok Ibu yang dicarinya. Ditatapnya lekat-lekat lukisan itu. Sebuah lukisan perempuan berbaju hijau lumut, berkain, duduk menyamping di kursi ukir. Lukisan itu telah dipakukan di dinding ruang tamu, barangkali setua bangunan ini. Tak kutemukan keterangan apa pun mengenai lukisan itu, hingga datang seorang gadis, yang bertanya, di mana perempuan dalam lukisan itu.
Sama sekali aku tak mengerti, di mana sekarang perempuan dalam lukisan itu tinggal. Apa peduliku dengan perempuan itu? Pada Ibu yang melahirkanku, ketika ia sakit dan meninggal dunia, tak kutengok sekejap pun. Ia dimakamkan, tanpa kehadiranku. Dua adik perempuanku yang tak pernah disia-siakan Ibu sepertiku berkali-kali meneleponku. Tak kubalas.
Lalu, apa artinya kini, melacak seorang ibu dari sebuah lukisan? Lukisan itu telah menjadi satu dengan dinding, semenjak rumah tua itu kubeli. Sama sekali aku tak terganggu dengan lukisan itu, sampai datang seorang perempuan muda itu dari kota yang jauh. Ia mencari pemilik rumah, seorang ibu yang dilukis dan terpasang di dinding ruang tamu. Melacak wanita dalam lukisan, yang lengkung alisnya tergores lembut, dengan sepasang mata memendam perhatian. Garis bibir dan dagu menampakkan kesepian yang panjang dan tertahan.
Lukisan itu selalu bergetar pada saat angin berembus lewat pintu ruang tamu yang terbentang. Lukisan itu tepat berhadap-hadapan dengan pintu, dan setiap saat angin menggetarkannya. Perempuan dalam lukisan itu seperti bergerak dari bingkainya.
Perempuan muda itu memandangi lukisan yang bergetar dengan mata yang berkejap. Sepasang mata yang penuh harap.
Antarkan aku ke rumah Ibu!
Aku masih tergagap. Merasa asing dengan permintaannya. Tak pernah aku mendatangi Ibu. Apalagi mencarinya. Hingga Ibu jatuh sakit, terbaring koma lebih dari sepuluh hari, dan pada akhirnya meninggal di hari kesebelas, aku tak menengoknya. Telepon rumah berdering berkali- kali. Tak berhenti berdering. Kututup kembali. Kubiarkan mereka dua adik perempuanku  menelepon dan mencaci-maki. Aku tak peduli.
Maaf, aku tak bisa menemanimu.
Kalau begitu, beri aku alamat Ibu.
Perempuan muda itu memendam sorot mata yang penuh harap dan cemas. Hari sudah larut. Ia belum beranjak dari rumahku, wajahnya tampak ragu. Tapi aku tak mau jatuh iba padanya. Aku tak ingin melihat dia bertemu dengan ibunya wanita yang telah melahirkannya.
Telah kuputuskan mencari Ibu. Tak kusangka akan sesulit ini. Sekalipun Ibu telah membuangku, tak akan kucemooh dia. Aku ingin bertemu dengannya.
Di pelataran rumah, dia masih membujukku untuk menemani mencari ibunya. Kutolak. Kali ini suaraku dingin. Mungkin ketus. Aku memang harus memperlihatkan pendirianku padanya. Aku tak suka melihat raut wajahnya yang cengeng.
Lelaki pemilik rumah itu sungguh menjengkelkan. Dia tak mau mengantarkanku mencari alamat Ibu. Baru pertama kali aku menginjakkan kaki di kota kecil kelahiranku ini. Dua puluh tiga tahun orangtua angkatku membawaku meninggalkan kota kecil yang sepi ini. Baru seminggu yang lalu, ketika aku hendak dilamar calon suami, kedua orangtua angkatku berterus terang. Kau masih memiliki seorang ibu ya, perempuan yang mengandung dan melahirkanmu. Ia tinggal di sebuah rumah tua, dengan arsitektur lama. Kulacak. Kutemukan rumah yang kokoh, tinggi, dan kusam. Tapi aku tak menemukan Ibu. Rumah itu sudah dijualnya. Dan lelaki muda yang telah membeli rumah Ibu, alangkah tolol dia. Sama sekali tak mau menolongku.
Hanya lukisan tua itu yang menghiburku. Setidaknya, aku sudah melihat wajah Ibu semasa muda. Bermata teduh, dan sekelam lumpur yang dalam. Mungkin lumpur itu menenggelamkan seseorang. Aku tak paham, barangkali lelaki-lelaki terperosok ke dalam lumpur mata itu. Orangtua angkatku tak memberi tahu siapa ayahku. Aku hanya diberi tahu tentang Ibu. Dan Ayah, bahkan namanya pun tak disebutkan. Apalagi wajahnya, sungguh tak kukenal.
Ketika kutemukan rumah tua, sesuai dengan alamat yang diberikan orangtua angkatku, aku merasa lega. Apalagi di dinding ruang tamu pemuda itu terpasang wajah Ibu. Wajah wanita yang menanggung kesepian yang terpendam. Kurasa aku sudah dekat bersua Ibu. Tapi aku cuma menemukan lukisannya. Sama sekali tak kutemukan jejaknya. Mungkin aku masih jauh bersua dengannya.
Mestinya pemuda pemilik rumah itu bisa membantuku. Dia memilih tak mau tahu persoalanku. Ia menutup diri, dan aku telah gagal membuka hatinya. Ia tenggelam ke dalam dirinya sendiri. Dan aneh, bagiku, bagaimana mungkin seorang lelaki yang mencapai usia tiga puluh seperti dia, tanpa istri dan anak, malah berhasrat memenjarakan diri?
Larut malam, tak ada taksi yang bisa kusewa untuk melacak rumah Ibu. Kota kecil ini sungguh sunyi. Kutemui beberapa becak yang diparkir di tepi jalan raya dengan pengayuh yang tertidur di dalamnya. Mereka tak memerlukan penumpang. Ini kota tua. Kota yang mati pada malam hari. Orang tak berani melintas di jalanan. Lampu-lampu pun remang-remang, dan kelelawar berseliweran dengan kepak sayap yang memperpekat sunyi. Langit di atas kota serupa selubung kain yang mudah koyak.
Kudapatkan sebuah hotel kecil, tua, dengan kamar yang melapuk pintunya, aus catnya, dan berdebu. Kecoa berseliweran. Nyamuk berdenging merubung tubuhku. Bagaimana aku bisa tidur di kamar serupa ini? Segelas teh dan sepotong kue yang dihidangkan pun terasa basi. Tak mungkin aku beristirahat dengan suasana jorok macam ini.
Berjalan-jalan meninggalkan kamar hotel, aku ingin menghirup udara malam kota tua ini. Barangkali aku akan menemukan rumah Ibu. Ingin kutebus kehinaanku sebagai perempuan tak beribu, yang hanya mengenal orangtua angkat. Getir rasa hatiku tak mengenal ibu kandung. Aku ingin sebagaimana layaknya seorang gadis yang dipinang calon suami, bisa mempertemukan dengan ibu kandung. Bahkan mungkin bisa mempertemukan dengan kerabatku. Tak hanya orangtua angkat yang bisa kutunjukkan pada keluarga mempelai lelaki.
Tapi kini, di kota tua ini, aku mesti berjalan sendirian mencari Ibu. Kalaupun calon suamiku memutuskan untuk meninggalkanku, karena aku tak memiliki ibu kandung yang bisa kupertemukan dengannya, aku harus rela. Aku tak berhak mencegahnya.
Terus melangkah dalam sunyi malam yang gelisah, sampailah aku di alun-alun, di bawah pohon beringin, di dekat penjual wedang ronde. Seorang lelaki tengah duduk mencangkung. Menikmati kesunyiannya. Aku merasa sangat mengenal lelaki itu. Memang betul. Dialah pemilik rumah tua, yang baru saja kutinggalkan. Duduk seorang diri. Terperanjat sebentar menatapku. Kutemukan lelaki muda itu tengah menyendoki wedang ronde. Hati-hati, pelan sekali, ia meletakkan minumannya, seperti tak pernah mengenalku. Mungkin ia tak mau bertemu dengan siapa pun. Lelaki itu terasing dan memilih jalan sunyi. Ia memang berpura-pura tak mengenalku. Sepasang matanya mengusir, menolak, bahkan memusuhiku.
Aku masih berharap kau mau menemaniku mencari Ibu, pintaku.
Larut malam begini?
Bila tak kuantar, aku tak tahu jalan.
Memandangiku dengan mata yang keropos, lelaki itu mencairkan kebenciannya padaku. Mata itu berkabut. Aku menatapnya dengan hangat. Dan kabut dalam mata itu lenyap. Lama. Lambat-lambat. Matanya mulai bersahabat. Dia tak lagi menyembunyikan muka dariku.
Kami berjalan bersama dalam samar cahaya bulan, tanpa tegur sapa. Dia melangkah dengan suara kaki yang pasti. Tak seorang pun kami temui di jalan. Hanya anjing-anjing buduk yang mengais-ngais sampah, sesekali melintas. Kami melangkah dalam diam. Menyusur jalan lengang, berkelok-kelok, kian jauh dari jantung kota, dan memasuki perkampungan.
Langkah kakiku sudah penat ketika kami mencapai sebuah rumah yang diduga pemuda itu ditempati Ibu. Tengah malam lewat, kami memasuki pelataran rumah tua dengan tembok mengelupas dan berlumut. Gelap. Kusentuh pintunya. Berderit terbuka. Di dalam pun tak terlihat seseorang. Tanpa cahaya. Kelelawar terbang menerobos celah pintu. Laba-laba bergerak menggetarkan jaring-jaringnya.
Dengan cahaya korek api kami menjelajahi seluruh ruangan. Rumah tua ini memang sudah ditinggalkan penghuninya. Debu, lumut, dan lembab udara, menyesakkan dada. Aku berhenti lama di depan pintu sebuah kamar. Barangkali di sinilah Ibu tidur. Kupandangi. Dan kubayangkan Ibu tergolek. Sendiri. Tatapannya menerawang. Kalau Ibu tengah terbaring di kamar ini, tentu aku akan menyempatkan diri bertanya. Kenapa Ibu memberikanku pada orang lain?
Barangkali pertanyaan ini akan menyakitkan Ibu. Tapi ini akan meruntuhkan beban yang menekan bergelayut dalam kepalaku. Toh Ibu kata orangtua angkatku tak memiliki anak selain aku. Apa lagi yang dirahasiakannya dariku?
Mari kita pulang! ajak pemuda itu, pelan.
Pulang?
Ya. Menginaplah di rumahku.
Membayangkan perempuan muda itu, sambil memandangi lukisan yang bergantung di ruang tamu, aku mulai sadar kini, mereka memang mirip. Malam itu ketika perempuan muda itu tidur di kamar depan, aku sempat memandanginya. Aku tersihir. Terkesima. Dialah perempuan dalam lukisan itu. Tubuhnya bergeletar. Aku seperti terisap untuk mendekatinya, lebih lekat, lebih lekat, menyatu ke dalam kesunyian yang mula-mula lembut, dan lambat laun bergelora, mengempas-empaskanku.
Tak kutemukan perempuan muda itu saat aku terbangun. Dia sudah menghilang. Mungkin sudah kembali pulang. Mungkin ia mencari ibu kandungnya. Aku tak berselera melakukan apa pun. Cuma memandangi perempuan dalam lukisan itu. Tiap kali angin berhembus, lukisan itu bergetar. Tapi kali ini dadaku pun bergetar. Tak bisa kuredakan.
Malam ketiga setelah perempuan muda itu menghilang, aku tak kuasa menahan diri. Aku menanti fajar untuk melakukan perjalanan. Telah kuputuskan untuk melacak perempuan muda itu. Tak mungkin kutunda lagi. Aku merasa keropos. Tak ingin kurasakan kekeroposan hati kian menjalar melapukkan seluruh persendianku. Ingin kutemukan rumah tempat tinggal perempuan itu. Ini sungguh mendebarkan, serupa memasuki permainan masa kanak-kanak bersama teman-temanku sebelum aku direnggut dari dunia itu untuk mengikuti saudara sepupu Ibu. Akan kucari perempuan titisan lukisan di ruang tamu. Biar kuajak dia ke rumahku, dan kutemani mencari ibu kandungnya ke mana pun, sampai ketemu.
Pandana Merdeka, Agustus 2005


Doa

Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhan
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

Karya Khairil Anwar


BELAJAR MEMBACA

kakiku luka
luka kakiku.
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikakukah lukakakukakiku
Karya Sutardji Calzoum Bachri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar