Tika Oktaviani / 17512386
1PA01
Ilmu Budaya Dasar
1.
Selidiki kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di
lingkungan anda, berikan pendapat tentang nilai-nilai yang berlaku pada
lingkungan tersebut!
Contoh kasus:
Seorang
anak yang kedua orangtuanya adalah seorang pekerja. Seringkali membebaskan
anaknya untuk menggunkan teknologi sejak usia anak-anak. Mereka hanya
beranggapan agar anaknya tidak ketinggalan zaman atau gaptek (gagap teknologi).
Didukung dengan materi yang memang memadai. Tetapai, orangtua lupa apa bahaya
anak yang cenderung atau dapat dikatakan kecanduan teknologi. Apa yang di
pelajari sang anak sangat berpengaruh terhadap perkembangannya.
Nilai-nilai:
Positif:
1.
Anak lebih mengenal teknologi, dan mudah dalam
pengembangan diri di masa globalisasi.
2.
Anak mampu mengeksplor hobi dan kegemaran mereka
dalam teknologi yang lebih efisien tempat dan waktu.
Negatif:
1.
Anak akan cenderung menjadi pribadi yang tertutup
2.
Anak kurang bisa berkonsentrasi dalam belajar karena
pengaruh teknologi yang sanagt tinggi
3.
Anak akan menjadi pribadi yang acuh terhadap keadaan
sekitar, sulit mengontrol emosi dan sulit untuk bersosialisasi dengan teman dan
lingkungan
1.
Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
perubahan kebudayaan dan berikan contoh!
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan budaya:
1.
Adanya kebudayaan luar yang lebih mudah untuk di
pelajari
2.
Sesuai dengan perubahan zaman
3.
Tokoh masyarakat meluputi tokoh elit politik sampai
dengan kalangan selebriti yang menggunakan atau mengaplikasikan dalam dunia nyata
4.
Perubahan gaya hidup yang berpandangan pada dunia
barat
5.
Banyaknya iklan atau tayangan televise yang
mengadopsi budaya luar
Contoh:
Tayangan
televisi yang banyak menampilkan kebudayaan k-pop yang sedang menjadi trend di
hampir seluruh dunia. Akibat kemajuan teknologi yang canggih sehingga mudah di
akses setiap orang dan mudah mempelajarinya sendiri. Meskipun kebanyakan orang
tidak mempelajari budaya itu secara utuh. Tayangan televisi sangat mempengaruhi
pola pikir dan tingkah laku seseorang. Ditambah lagi budaya asing cenderung di
aplikasikan oleh kalangan elit sehingga masyarakat kalangan menengah dan
menengah kebawah ikut serta dalam penggunkan budaya asing tersebut untuk
memberikan efek percaya diri dan tidak ketinggalan zaman. Itulah yang
menyebabkan perubahan budaya di Indonesia begitu cepat. Dan budaya Indonesia
sendiri semakin terkikis.
3.
IBD (Ilmu Budaya Dasar) sering di hubungkan dengan
kesusastraan dalam prosa dan puisi.
Berikan contoh-contoh dan nilai-nilai yang di peroleh pembaca lewat
sastra baik prosa dan puisi.
Nilai dalam cerpen Lukisan yang Bergetar
1.
Penyesalan selalu hadir ketika seseorang telah
merasakan sakit
2.
Kebencian seorang anak akan ibunya yang telah
meninggalkannya sejak kecil
3.
Seorang anak yang rela mencari ibunya meski telah di
buang
4.
Mencintai sepenuh hati orangtuanya apapaun
keadaannya
5.
Kepedulian seseorang untuk menolong sesamanya
Nilai
dalam cerpen Anak-anak Peluru
1.
Kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah putus,
meski telah lama di tinggalkan
2.
Seorang anak yang telah lupa akan orangtuanya
setelah merantau
3.
Kesetiaan seorang anak merawat ibunya meskipun sudah
tua
4.
Seorang lelaki yang rela mencintai seorang wanita
dengan segala kekurangan
5.
Anak yang telah sukses jangan pernah melupakan
orangtuanya
Nilai
dalam puisi Doa
1.
Hamba yang senantiasa bertakwa
2.
Selalu berdoa dan bersyukur dalam keadaan apapun
3.
Mempercayai bahwa kehendak Tuhan adalah yang terbaik
4.
Kepasrahan diri kepada Tuhan
5.
Tidak pernah putus asa dalam menghadapi setiap
cobaan
Nilai
dalam puisi Luka
1.
Belajar untuk memahami orang lain
2.
Menjadi orang yang empati terhadap lingkungan maupun
orang lain
3.
Belajar untuk menjadi seorang sahabat yang baik
4.
Mengajarkan tentang toleransi dan kepedulian
Anak-anak Peluru
Anakku,
Mengharapkan
kepulanganmu sama saja dengan mengharap abu dari tungku-tungku pembakaran yang
tak pernah menyala! Tapi, entah kenapa masih saja ibu bersetia menyia-nyiakan
waktu menunggumu. Masih saja sesak dada ibu karena denyut rindu. Masih saja
jemari tangan ibu hendak menulis surat untukmu, meski kau tak pernah lagi
membalasnya. Ya, masih saja terkenang tentang sekeping waktu saat bayi
laki-laki menyembul dari rahim ibu. Terkenang pula saat ngeyak dan rengekmu
memecah sunyi di ujung malam. Saat itu, ibu tersentak bangun dan bergegas mengelus-elus
kepala culunmu, hingga kau terlelap pulas dalam dekapan ibu.
”Ibu restui
kepergianmu, Nak! Tapi, jangan sampai perantauanmu seperti Anak Peluru!”
”Anak Peluru? Maksud
ibu?”
”Peluru jika sudah
ditembakkan, tak akan kembali ke moncong senapan, bukan?”
”Ibaratkan peluru itu
seorang anak, dan moncong senapan itu seorang ibu. Mana ada peluru yang kembali
ke moncong senapan setelah ditembakkan? Hengkang dan tak pernah kembali
pulang.”
Tiga orang anak yang
terpacak dari perut ibu, dan pada setiap prosesi kelahiran itu nyaris sebesar
biji Jagung peluh mengucur dari sekujur tubuh ibu karena menanggung rasa sakit,
namun hasrat ibu ingin menimang bayi perempuan tak kunjung terwujud. Tiga bayi
itu semuanya laki-laki. Abangmu, Rehan, setelah tamat SMU di Payakumbuh,
merengek-rengek minta izin untuk merantau. Hendak mengadu nasib ke Jakarta. Ibu
gadaikan sebidang sawah untuk modalnya berjualan kaki lima. Berkat kegigihan
dan kerja kerasnya, lambat laun ia sukses. Khabar terakhir yang ibu dengar
tentang Rehan, ia sudah punya lima toko dan dua puluh orang karyawan. Tapi,
sejak menikah dengan perempuan rantau, berkembang biak dan lalu beranak pinak
seperti kucing, tak pernah lagi Rehan pulang menjenguk ibu. Lupa jalan pulang
atau memang sudah tak berniat pulang?
Lain lagi ceritanya
dengan Acin, abangmu yang satu lagi. Setelah lulus jadi polisi, hanya dua tahun
sejak berdinas di Aceh, ia berkirim surat minta restu untuk mempersunting gadis
kelahiran Takengon. Pada surat itu, Acin berjanji, setelah masa tugasnya berakhir,
ia akan mengajukan permohonan agar bisa ditempatkan di Payakumbuh. Acin akan
pulang membawa istrinya, dan tinggal bersama ibu. ”Kasihan, ibu sendiri saja di
rumah!” katanya. Tapi, seingat ibu itulah surat pertama dan sekaligus surat
terakhir Acin untuk ibu. Sejak itu, tak terdengar lagi khabar Acin. Acin tak
pernah pulang menjenguk ibu. Lupa jalan pulang atau memang sudah tak berniat
pulang?
”Jangan cemas, Bu! Ruz
tidak akan menjadi Anak Peluru.”
Rumah kita makin
lengang. Hanya kau yang tersisa, Nak! Bapakmu tak bisa diharapkan. Sejak enam
tahun lalu, nyaris setiap malam ia bersetia merawat nenek yang sakit-sakitan,
sekaligus menjaganya. Delapan orang anak nenek. Dua perempuan dan selebihnya
laki-laki, termasuk bapakmu. Kecuali bapakmu, tak satu pun anak-anak nenek yang
menyimpan kerinduan pulang menjenguknya, apalagi kerinduan ingin merawatnya.
Umurnya sudah berkepala delapan. Bapakmu rela di-perempuan-kan. Mencuci
pakaian, menimba air mandi, menyuapkan makan, melayani segala tetek bengek
kebutuhan perempuan setua nenek. Jika kau sudah pergi, tentu ibu akan
bersendiri. Tanpa bapakmu. Tanpa Rehan, Acin dan juga kau. ”Ruz ingin jadi anak
ibu, bukan Anak Peluru!”
Perempuan itu, Wafa
Sulastri. Pelukis yang sedang bergiat di sanggar seni I Nyoman Gunarsa. Lukisan-lukisan
karyanya sering dipamerkan di beberapa kota di Pulau Jawa. Selain bergiat
sebagai pelukis, ia bekerja sebagai mediator antara buyer-buyer asing yang
tertarik untuk membeli produk-produk handycraft khas Jogja dengan para
pengrajin sebagai produsen. Saat itu, Wafa sedang bekerja untuk Mrs Palloma,
bule perempuan berkebangsaan Spanyol.
Wafa tidak hanya
cantik, tapi juga cerdas seperti terlihat dari cara dan gaya bicaranya. Tampak
seperti perempuan yang kenyang pengalaman. Bukan perempuan kebanyakan.
Pertemanan mereka berlanjut, makin dekat. Makin akrab. Pada sebuah janji makan
malam yang mengesankan, Ruz tergoda pada ajakan Wafa untuk menginap di
apartemen tempat tinggalnya. Wafa tinggal di apartemen mewah yang tidak jauh
dari pusat kota bersama bos bulenya, Palloma. Semula Ruz memang berhasrat
hendak menikmati kencan pertamanya itu bersama Wafa. Namun, hasrat lelaki itu
padam seketika. Ia gemetar dan setengah menggigil. Saat Wafa melucuti
dasternya, Ruz melihat bekas jahitan panjang membelah bagian perutnya. Lebih
kurang enam puluh jahitan. Juga bekas cetakan setrika panas di punggungnya,
bekas cambukan di pinggangnya, bekas tusukan benda-benda tajam di paha dan
kedua betisnya.
”Siapa pelaku
penganiayaan ini?”
”Siapa? Katakan!”
Wafa diam. Perlahan-lahan,
gerimis merintik dari bola mata coklatnya. Terisak-isak. Tersedu-sedu.
”Aku akan menjadi
pendengar yang baik, jika kau mau berbagi.”
”Kau mempercayaiku,
bukan? Ceritakanlah!”
”Panjang ceritanya,
Mas!”
Wafa adalah korban
kesadisan seorang lelaki yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Indra
Setiawan, begitu ia menyebut namanya. Setahun lalu, mereka tinggal di Denpasar,
Bali, dan mengelola beberapa bidang usaha. Entah kenapa, Indra menjadi
paranoid, setengah gila dan nyaris mengakhiri hidup Wafa. Tentang Indra, Wafa
tidak mau bercerita panjang. ”Belum saatnya!” kata Wafa. Yang jelas, Wafa
meninggalkan Bali dan melarikan diri ke kota ini, karena sudah tak tahan lagi
menanggung perlakuan kasar suaminya.
”Sejak kapan mulai
merokok?”
”Sejak telapak tanganku
sering disulut api rokok!” jawab Wafa.
”Mulai minum?”
”Sejak aku sering
teler karena setiap hari pangkal telingaku dihantam pukulan keras.”
Begitulah! Wafa sedang
rapuh, goyah, dan kadang-kadang sulit dikendalikan. Beberapa kali Ruz
menyelamatkan nyawanya dari tindakan konyol melakukan uji coba bunuh diri.
Menenggak sebotol sprite dingin yang sebelumnya sudah dicampur bubuk racun
tikus. Mengiris-iris urat nadi, bahkan dengan sengaja menabrakkan mobil yang
sedang disetirnya. Wafa ingin menyudahi riwayat lukanya dengan cara; Mati. Ruz
pernah membawanya ke psikiater. Setelah mempelajari gejala ganjil pada kondisi
kejiwaan Wafa, psikiater itu geleng-geleng kepala sembari berbisik kepada Ruz,
”Istri Anda?” Ruz terperangah sambil menelan ludah.
Sejak kedekatannya
dengan Wafa, konsentrasi kerja Ruz agak terganggu. Buyar, karena sewaktu-waktu
ia mesti bergegas ke rumah sakit setelah mendengar khabar Wafa melakukan uji
coba bunuh diri lagi. Tak terhitung lagi berapa kali Wafa diusung ke ruang
gawat darurat akibat ulah konyolnya yang selalu ingin mati.
”Kenapa Tuhan enggan
merenggut hidupku?”
”Hus… Jangan
mengumpati Tuhan! Barangkali kau sedang diuji!”
”Aku sudah tak sanggup
menghadapi ujian-Nya!”
”Aku ingin bebas dari
ujian-Nya!”
”Dengan cara; Mati?”
”Berarti aku sudah
tidak berarti lagi?”
”Kau akan berarti jika
mau memberitahuku bagaimana cara mati yang paling cepat!”
Ruz berupaya
menyembuhkan sakit Wafa dengan caranya sendiri. Memberikan perhatian penuh.
Membujuk agar ia menghentikan kegemarannya mencelakai diri. Ruz tidak perlu
mencintai Wafa waktu itu. Barangkali yang ia perlukan hanyalah bagaimana cara
agar Wafa bisa sembuh dan situasi mentalnya pulih seperti sediakala. Tapi, demi
kesembuhannya, Ruz akan melakukan apa saja. Tanpa sepengatahuan Wafa, diam-diam
Ruz menghubungi suami Wafa via email. Meminta dan bermohon agar lelaki itu
berkenan melepaskan istrinya. Dasar lelaki bajingan, (tanpa tersinggung sedikit
pun) dengan senang hati ia menyerahkan istrinya pada Ruz, bahkan bersedia pula
menulis surat pernyataan tidak akan menuntut jika Ruz telah menikahi Wafa,
mantan istrinya itu.
”Kualat kau!” batin
Ruz.
Bersusah payah Ruz
memohon restu untuk menikahi Wafa. Berkali-kali ia menyurati ibu, juga
menyurati sanak famili yang dipercayainya dapat melunakkan sikap keras ibu,
namun Ruz gagal. Alih-alih memperoleh restu, justru yang diterimanya caci maki,
umpat dan sumpah serapah.
”Ibu tidak melarang
kau menikah, tapi tidak dengan perempuan rantau itu!”
”Jangan kuatir, Bu!
Ruz tidak akan menjadi Anak Peluru.”
”Mungkin kau tidak
akan menjadi Anak Peluru. Tapi, menikah dengan perempuan itu, kau akan jadi
Anak Durhaka!’
”Ruz tidak akan
melupakan ibu. Kelak, Wafa akan Ruz ajak pulang. Kami akan tinggal di kampung,
menjaga dan merawat ibu. Ruz ingin jadi anak ibu!”
”Tidak, Nak! Kau bukan
anak ibu lagi, jika tetap menikahi perempuan itu!”
Ruz mengurut dada
membaca cercaan dan makian yang tertulis di setiap lembar surat ibu. Ia heran,
tak disangka-sangka ibu yang sejak ia balita dikenalnya sebagai perempuan
santun, bijak dan amat penyayang, tiba-tiba saja berubah menjadi sangat kasar,
tidak penyabar, dan sulit diberi pengertian. Ibu tidak menjelaskan alasan
penolakannya pada Wafa. Mencak-mencak, marah-marah, memaki dan mencela tanpa
sebab musabab yang jelas. Sentimen hanya karena Wafa perempuan rantau. Ya, Wafa
memang perempuan rantau, tapi apa bedanya perempuan rantau dengan
perempuan-perempuan lain di ranah ibu? Bukankah Wafa juga seorang perempuan?
Dan tentulah juga seorang manusia?
Hari ini entah
bilangan tahun yang ke berapa sejak Ruz menikahi Wafa tanpa sepengetahuan ibu.
Sejak itu pula, Ruz tak pernah pulang ke ranah ibu. Sama seperti tak pulangnya
Rehan dan Acin. Tiga laki-laki itu seperti anak-anak peluru, sekali ditembakkan
dari moncong senapan, tak pernah kembali pulang. Sekadar menanyakan keadaaan
ibu yang kian lama kian ringkih dan sering sakit-sakitan pun tidak juga. Lupa
jalan pulang atau memang sudah tak berniat pulang? Entahlah!
Anak-anakku; Rehan,
Acin dan Ruz…!
Menunggu kepulangan
kalian sama saja dengan menunggu sekawanan Kelinci di kandang Macan! Namun, di
usia yang sudah berkepala tujuh ini, (entah kenapa) masih saja ibu bersetia
menyia-nyiakan waktu menunggu kalian. Masih saja sesak dada ibu karena denyut
rindu ingin bertemu kalian. Masih saja jemari tangan ibu hendak menulis surat
untuk kalian, meski kalian tak pernah lagi membalasnya. Ya, masih saja
terkenang tentang tiga bayi laki-laki yang menyembul dari rahim ibu.
”Sampai kapan ibu
harus menunggu kalian?”
”Sampai ibu menemukan
alasan untuk tak menunggu kami lagi!”
”Apa alasan paling
tepat untuk melupakan kalian, Nak?”
”Kematian! Hanya
kematian kami yang mampu memadamkan api rindu ibu!”
Benarkah ibu
sungguh-sungguh sedang menunggu? Jangan-jangan ibu tak sedang menunggu
kepulangan kalian, tapi menunggu khabar kematian kalian! Bilamana kalian sudah
jadi mayat, mungkin saat itu ibu akan berhenti menunggu. Kalau pun ibu masih
juga menunggu, itu hanya sekedar membunuh waktu sambil menunggu ajal datang
menjemput ibu.
”Bukankah ibu hanyalah
moncong senapan dan kalian adalah anak-anak peluru yang telah dimuntahkan?”
Lukisan Bergetar
Jangan bertanya padaku si anak durhaka mengenai Ibu, perempun
yang disapa dengan sepenuh keagungan jiwa, pemujaan, permohonan doa dan restu.
Aku tak mau mengenal Ibu. Aku telah dititipkan Ibu pada saudara sepupunya,
perempuan bawel yang mempekerjakanku serupa budak. Aku lari dari keluarga
perempuan bawel itu, dan menemukan duniaku sendiri, bekerja, hingga membeli
rumah tua yang kini kutempati.
Aku terperanjat ketika datang ke rumahku seorang gadis dengan
pandangan yang berkaca-kaca. Ia mencari ibu kandungnya. Perempuan dalam lukisan
di ruang tamuku, dikatakan sebagai sosok Ibu yang dicarinya. Ditatapnya
lekat-lekat lukisan itu. Sebuah lukisan perempuan berbaju hijau lumut, berkain,
duduk menyamping di kursi ukir. Lukisan itu telah dipakukan di dinding ruang
tamu, barangkali setua bangunan ini. Tak kutemukan keterangan apa pun mengenai
lukisan itu, hingga datang seorang gadis, yang bertanya, di mana perempuan
dalam lukisan itu.
Sama sekali aku tak mengerti, di mana sekarang perempuan
dalam lukisan itu tinggal. Apa peduliku dengan perempuan itu? Pada Ibu yang
melahirkanku, ketika ia sakit dan meninggal dunia, tak kutengok sekejap pun. Ia
dimakamkan, tanpa kehadiranku. Dua adik perempuanku yang tak pernah disia-siakan
Ibu sepertiku berkali-kali meneleponku. Tak kubalas.
Lalu, apa artinya kini, melacak seorang ibu dari sebuah
lukisan? Lukisan itu telah menjadi satu dengan dinding, semenjak rumah tua itu
kubeli. Sama sekali aku tak terganggu dengan lukisan itu, sampai datang seorang
perempuan muda itu dari kota yang jauh. Ia mencari pemilik rumah, seorang ibu
yang dilukis dan terpasang di dinding ruang tamu. Melacak wanita dalam lukisan,
yang lengkung alisnya tergores lembut, dengan sepasang mata memendam perhatian.
Garis bibir dan dagu menampakkan kesepian yang panjang dan tertahan.
Lukisan itu selalu bergetar pada saat angin berembus lewat
pintu ruang tamu yang terbentang. Lukisan itu tepat berhadap-hadapan dengan
pintu, dan setiap saat angin menggetarkannya. Perempuan dalam lukisan itu
seperti bergerak dari bingkainya.
Perempuan muda itu memandangi lukisan yang bergetar dengan
mata yang berkejap. Sepasang mata yang penuh harap.
Antarkan aku ke rumah Ibu!
Aku masih tergagap. Merasa asing dengan permintaannya. Tak pernah
aku mendatangi Ibu. Apalagi mencarinya. Hingga Ibu jatuh sakit, terbaring koma
lebih dari sepuluh hari, dan pada akhirnya meninggal di hari kesebelas, aku tak
menengoknya. Telepon rumah berdering berkali- kali. Tak berhenti berdering.
Kututup kembali. Kubiarkan mereka dua adik perempuanku menelepon dan
mencaci-maki. Aku tak peduli.
Maaf, aku tak bisa menemanimu.
Kalau begitu, beri aku alamat Ibu.
Perempuan muda itu memendam sorot mata yang penuh harap dan
cemas. Hari sudah larut. Ia belum beranjak dari rumahku, wajahnya tampak ragu.
Tapi aku tak mau jatuh iba padanya. Aku tak ingin melihat dia bertemu dengan
ibunya wanita yang telah melahirkannya.
Telah kuputuskan mencari Ibu. Tak kusangka akan sesulit ini.
Sekalipun Ibu telah membuangku, tak akan kucemooh dia. Aku ingin bertemu
dengannya.
Di pelataran rumah, dia masih membujukku untuk menemani
mencari ibunya. Kutolak. Kali ini suaraku dingin. Mungkin ketus. Aku memang
harus memperlihatkan pendirianku padanya. Aku tak suka melihat raut wajahnya
yang cengeng.
Lelaki pemilik rumah itu sungguh menjengkelkan. Dia tak mau
mengantarkanku mencari alamat Ibu. Baru pertama kali aku menginjakkan kaki di
kota kecil kelahiranku ini. Dua puluh tiga tahun orangtua angkatku membawaku
meninggalkan kota kecil yang sepi ini. Baru seminggu yang lalu, ketika aku
hendak dilamar calon suami, kedua orangtua angkatku berterus terang. Kau masih
memiliki seorang ibu ya, perempuan yang mengandung dan melahirkanmu. Ia tinggal
di sebuah rumah tua, dengan arsitektur lama. Kulacak. Kutemukan rumah yang
kokoh, tinggi, dan kusam. Tapi aku tak menemukan Ibu. Rumah itu sudah
dijualnya. Dan lelaki muda yang telah membeli rumah Ibu, alangkah tolol dia.
Sama sekali tak mau menolongku.
Hanya lukisan tua itu yang menghiburku. Setidaknya, aku sudah
melihat wajah Ibu semasa muda. Bermata teduh, dan sekelam lumpur yang dalam.
Mungkin lumpur itu menenggelamkan seseorang. Aku tak paham, barangkali
lelaki-lelaki terperosok ke dalam lumpur mata itu. Orangtua angkatku tak
memberi tahu siapa ayahku. Aku hanya diberi tahu tentang Ibu. Dan Ayah, bahkan
namanya pun tak disebutkan. Apalagi wajahnya, sungguh tak kukenal.
Ketika kutemukan rumah tua, sesuai dengan alamat yang
diberikan orangtua angkatku, aku merasa lega. Apalagi di dinding ruang tamu
pemuda itu terpasang wajah Ibu. Wajah wanita yang menanggung kesepian yang
terpendam. Kurasa aku sudah dekat bersua Ibu. Tapi aku cuma menemukan
lukisannya. Sama sekali tak kutemukan jejaknya. Mungkin aku masih jauh bersua
dengannya.
Mestinya pemuda pemilik rumah itu bisa membantuku. Dia
memilih tak mau tahu persoalanku. Ia menutup diri, dan aku telah gagal membuka
hatinya. Ia tenggelam ke dalam dirinya sendiri. Dan aneh, bagiku, bagaimana
mungkin seorang lelaki yang mencapai usia tiga puluh seperti dia, tanpa istri dan
anak, malah berhasrat memenjarakan diri?
Larut malam, tak ada taksi yang bisa kusewa untuk melacak
rumah Ibu. Kota kecil ini sungguh sunyi. Kutemui beberapa becak yang diparkir
di tepi jalan raya dengan pengayuh yang tertidur di dalamnya. Mereka tak memerlukan
penumpang. Ini kota tua. Kota yang mati pada malam hari. Orang tak berani
melintas di jalanan. Lampu-lampu pun remang-remang, dan kelelawar berseliweran
dengan kepak sayap yang memperpekat sunyi. Langit di atas kota serupa selubung
kain yang mudah koyak.
Kudapatkan sebuah hotel kecil, tua, dengan kamar yang melapuk
pintunya, aus catnya, dan berdebu. Kecoa berseliweran. Nyamuk berdenging
merubung tubuhku. Bagaimana aku bisa tidur di kamar serupa ini? Segelas teh dan
sepotong kue yang dihidangkan pun terasa basi. Tak mungkin aku beristirahat
dengan suasana jorok macam ini.
Berjalan-jalan meninggalkan kamar hotel, aku ingin menghirup
udara malam kota tua ini. Barangkali aku akan menemukan rumah Ibu. Ingin
kutebus kehinaanku sebagai perempuan tak beribu, yang hanya mengenal orangtua
angkat. Getir rasa hatiku tak mengenal ibu kandung. Aku ingin sebagaimana
layaknya seorang gadis yang dipinang calon suami, bisa mempertemukan dengan ibu
kandung. Bahkan mungkin bisa mempertemukan dengan kerabatku. Tak hanya orangtua
angkat yang bisa kutunjukkan pada keluarga mempelai lelaki.
Tapi kini, di kota tua ini, aku mesti berjalan sendirian
mencari Ibu. Kalaupun calon suamiku memutuskan untuk meninggalkanku, karena aku
tak memiliki ibu kandung yang bisa kupertemukan dengannya, aku harus rela. Aku
tak berhak mencegahnya.
Terus melangkah dalam sunyi malam yang gelisah, sampailah aku
di alun-alun, di bawah pohon beringin, di dekat penjual wedang ronde. Seorang
lelaki tengah duduk mencangkung. Menikmati kesunyiannya. Aku merasa sangat
mengenal lelaki itu. Memang betul. Dialah pemilik rumah tua, yang baru saja
kutinggalkan. Duduk seorang diri. Terperanjat sebentar menatapku. Kutemukan
lelaki muda itu tengah menyendoki wedang ronde. Hati-hati, pelan sekali, ia
meletakkan minumannya, seperti tak pernah mengenalku. Mungkin ia tak mau
bertemu dengan siapa pun. Lelaki itu terasing dan memilih jalan sunyi. Ia
memang berpura-pura tak mengenalku. Sepasang matanya mengusir, menolak, bahkan
memusuhiku.
Aku masih berharap kau mau menemaniku mencari Ibu, pintaku.
Larut malam begini?
Bila tak kuantar, aku tak tahu jalan.
Memandangiku dengan mata yang keropos, lelaki itu mencairkan
kebenciannya padaku. Mata itu berkabut. Aku menatapnya dengan hangat. Dan kabut
dalam mata itu lenyap. Lama. Lambat-lambat. Matanya mulai bersahabat. Dia tak
lagi menyembunyikan muka dariku.
Kami berjalan bersama dalam samar cahaya bulan, tanpa tegur
sapa. Dia melangkah dengan suara kaki yang pasti. Tak seorang pun kami temui di
jalan. Hanya anjing-anjing buduk yang mengais-ngais sampah, sesekali melintas.
Kami melangkah dalam diam. Menyusur jalan lengang, berkelok-kelok, kian jauh
dari jantung kota, dan memasuki perkampungan.
Langkah kakiku sudah penat ketika kami mencapai sebuah rumah
yang diduga pemuda itu ditempati Ibu. Tengah malam lewat, kami memasuki
pelataran rumah tua dengan tembok mengelupas dan berlumut. Gelap. Kusentuh
pintunya. Berderit terbuka. Di dalam pun tak terlihat seseorang. Tanpa cahaya.
Kelelawar terbang menerobos celah pintu. Laba-laba bergerak menggetarkan
jaring-jaringnya.
Dengan cahaya korek api kami menjelajahi seluruh ruangan.
Rumah tua ini memang sudah ditinggalkan penghuninya. Debu, lumut, dan lembab
udara, menyesakkan dada. Aku berhenti lama di depan pintu sebuah kamar.
Barangkali di sinilah Ibu tidur. Kupandangi. Dan kubayangkan Ibu tergolek.
Sendiri. Tatapannya menerawang. Kalau Ibu tengah terbaring di kamar ini, tentu
aku akan menyempatkan diri bertanya. Kenapa Ibu memberikanku pada orang lain?
Barangkali pertanyaan ini akan menyakitkan Ibu. Tapi ini akan
meruntuhkan beban yang menekan bergelayut dalam kepalaku. Toh Ibu kata orangtua
angkatku tak memiliki anak selain aku. Apa lagi yang dirahasiakannya dariku?
Mari kita pulang! ajak pemuda itu, pelan.
Pulang?
Ya. Menginaplah di rumahku.
Membayangkan perempuan muda itu, sambil memandangi lukisan
yang bergantung di ruang tamu, aku mulai sadar kini, mereka memang mirip. Malam
itu ketika perempuan muda itu tidur di kamar depan, aku sempat memandanginya.
Aku tersihir. Terkesima. Dialah perempuan dalam lukisan itu. Tubuhnya
bergeletar. Aku seperti terisap untuk mendekatinya, lebih lekat, lebih lekat,
menyatu ke dalam kesunyian yang mula-mula lembut, dan lambat laun bergelora,
mengempas-empaskanku.
Tak kutemukan perempuan muda itu saat aku terbangun. Dia
sudah menghilang. Mungkin sudah kembali pulang. Mungkin ia mencari ibu
kandungnya. Aku tak berselera melakukan apa pun. Cuma memandangi perempuan
dalam lukisan itu. Tiap kali angin berhembus, lukisan itu bergetar. Tapi kali
ini dadaku pun bergetar. Tak bisa kuredakan.
Malam ketiga setelah perempuan muda itu menghilang, aku tak
kuasa menahan diri. Aku menanti fajar untuk melakukan perjalanan. Telah
kuputuskan untuk melacak perempuan muda itu. Tak mungkin kutunda lagi. Aku
merasa keropos. Tak ingin kurasakan kekeroposan hati kian menjalar melapukkan
seluruh persendianku. Ingin kutemukan rumah tempat tinggal perempuan itu. Ini
sungguh mendebarkan, serupa memasuki permainan masa kanak-kanak bersama
teman-temanku sebelum aku direnggut dari
dunia itu untuk mengikuti saudara sepupu Ibu. Akan kucari perempuan titisan
lukisan di ruang tamu. Biar kuajak dia ke rumahku, dan kutemani mencari ibu
kandungnya ke mana pun, sampai ketemu.
Pandana
Merdeka, Agustus 2005
Doa
Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam
sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhan
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Karya Khairil Anwar
BELAJAR MEMBACA
kakiku luka
luka kakiku.
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikakukah lukakakukakiku
kakiku luka
luka kakiku.
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikakukah lukakakukakiku
Karya Sutardji Calzoum Bachri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar